Jumat, 06 November 2015

#Psikologi Manajemen (Kekuasaan)



Nama Kelompok :


Dhita Ayu Ariandini

Dwinindita Putri W.

Lita Daniyah Agustiany


Kelas : 3PA15


Tugas Portofolio 2


             I. KEKUASAAN

1.  Definisi kekuasaan
Mengacu pada kemampuan yang dimiliki A untuk mempengaruhi perilaku B sehingga B bertindak sesuai dengan keinginan A.
2.  Sumber-sumber kekuasaan menurut french & raven
Adapun sumber kekuasaan itu sendiri terdiri dari dua macam. yaitu kedudukan dan kepribadian.

Kekuasaan yang bersumber pada kedudukan
Kekuasaan yang bersumber pada kedudukan terbagi lagi kedalam beberapa jenis.
a.    Kekuasaan formal atau legal
Termasuk dalam jenis ini adalah komandan tentara, kepala dinas, presiden atau perdana menteri, dan sebagainya yang mendapat kekuasaannya karena di tunjuk dan/atau diperkuat dengan peraturan atau perundangan yang resmi.
b.    Kendali atas sumber dan ganjaran
Majikan yang menggaji karyawannya, pemilik sawah yang mengupah buruhnya, kepala suku atau kepala kantoryang dapat memberi ganjaran kepada anggota atau bawahannya, dan sebagainya, memimpin berdasarkan sumber kekuasaan jenis ini.
c.    Kendali atas hukuman
Ganjaran biasanya terkait dengan hukuman  sehingga kendali atas ganjaran biasanya juga terkait dengan kendali atas hukuman.

Kekuasaan bersumber pada kepribadian
a.    Keahlian atau keterampilan
Dalam shalat berjamaah dalam agama islam, yang di jadikan pemimpin shalat (imam) adalah yang paling fasih membaca alquran. Di sebuah kapal atau pesawat udara, mualim atau penerbang yang paling terampil yang dijadikan nahkoda atau kapten. Pasien-pasien di rumah sakit menganggap dokter sebagai pemimpin atau panutan karena dokterlah yang dianggap paling ahli untuk menyembuhkan penyakitnya.
b.    Persahabatan atau kesetiaan
Sifat dapat bergaul, setia kawa kepada kelompok dapat merupakan sumber kekuasaan sehingga seseorang di anggap sebagai pemimpin.
Selanjutnya , selanjutnya berdasarkan berbagai sumber kekuasaan tersebut French & Raven (1959) menyusun sebuah kategorisasi sumber kekuasaan di tinjau dari hubungan anggota (target) dan pemimpin (agent) sebagaimana dalam tabel 2.2.


I.        LEADERSHIP
A.  Definisi leadership
1.     Kepemimpinan adalah perilaku seseorang individu ketika ia mengarahkan aktivitas sebuah kelompok menuju suatu tujuan bersama (Hemphill & coons)
2.    Kepemimpinan adalah suatu jenis hubungan kekuasaan yang ditandai oleh persepsi anggota kelompok bahwa anggota kelompok yang lain mempunyai hak untuk merumuskan pola perilaku dari anggota yang pertama dalam hubungannya dengan kegiatannya sebagai anggota kelompok (Janda)
3.    Kepemimpinan adalah pengaruh antarpribadi yang dilaksanakan dan di arahkan melalui proses komunikasi, ke arah pencapaian tujuan atau tujuan-tujuan tertentu (Tannenbaum, weschler & Massarik)

B.  Menjelaskan teori-teori kepemimpinan partisipatif yang terdiri dari :
1.     Teori X & Teori Y dari douglas McGregor
Menurut McGregor, teori X dan teori Y merefleksikan dua keyakinan ekstrem yang membedakan manajer mengenai pekerja mereka. Teori X adalah pandangan negatif mengenai pekerja dan konsisten dengan pandangan asumsi yang dibuat oleh pendukung hubungan manusia. Dalam pandangan McGregor, teori Y merupakan suatu filosofi yang lebih sesuai untuk digunakan manajer.

2.    Teori sistem 4 dari Rensis Likert
Rensis Linkert dari Universitas Michighan mengembangkan model peniti penyambung (linking pin model) yang menggambarkan struktur organisasi. Menurut Luthans (1973) struktur peniti penyambung ini cenderung menekankan dan memudahkan apa yang seharusnya terjadi dalam struktur klasik yang birokratik. Ciri organisasi berstruktur peniti penyambung adalah lambatnya tindakan kelompok, hal ini harus diimbangi dengan memanfaatkan partisipasi yang positif. Bila seseorang memperhatikan dan memelihara pekerjanya dengan baik maka operasional organisasi akan membaik.
Fungsi-fungsi manajemen berlangsung dalam empat sistem:
Sistem Pertama: Sistem otokratis eksploratif yang penuh tekanan dan otoriter dimana segala sesuatu diperintahkan dengan tangan besi dan tidak memerlukan umpan balik. Atasan tidak memiliki kepercayaan terhadap bawahan dan bawahan tidak memiliki kewenangan untuk mendiskusikan pekerjaannya dengan atasan. Akibat dari konsep ini adalah ketakutan, ancaman dan hukuman jika tidak selesai. Proses komunikasi lebih banyak dari atas kebawah.
Sistem Kedua: Sistem otokratis paternalistic yang lebih lunak dan otoriter dimana manajer lebih sensitif terhadap kebutuhan karyawan. Manajemen berkenan untuk percaya pada bawahan dalam hubungan atasan dan bawahan, keputusan ada di atas namun ada kesempatan bagi bawahan untuk turut memberikan masukan atas keputusan itu.
Sistem Ketiga: Sistem konsultatif dimana pimpinan mencari masukan dari karyawan. Disini karyawan bebas berhubungan dan berdiskusi dengan atasan dan interaksi antara pimpinan dan karyawan nyata. Keputusan di tangan atasan, namun karyawan memiliki andil dalam keputusan tersebut.
Sistem Keempat: Sistem partisipan dimana pekerja berpartisipasi aktif dalam membuat keputusan. Disini manajemen percaya sepenuhnya pada bawahan dan mereka dapat membuat keputusan. Alur informasi keatas, kebawah, dan menyilang. Komunikasi kebawah pada umumnya diterima, jika tidak dapat dipastikan dan diperbolehkan ada diskusi antara karyawan dan manajer. Interaksi dalam sistem terbangun, komunikasi keatas umumnya akurat dan manajer menanggapi umpan balik dengan tulus. Motivasi kerja dikembangkan dengan partisipasi yang kuat dalam pengambilan keputusan, penetapan goal setting (tujuan) dan penilaian .

3.    Theory Of Leadership Pattern Choice (Tannenbaum dan schmidt)
Menurut Tannenbaum dan Schmidt, pola kepemimpinan bergantung kepada faktor-faktor yang berasal dari sang pemimpin atau manajer itu sendiri, pengikut, dan situasi. Seorang pemimpin memiliki persepsi kepemimpinan berdasarkan latar belakang, pengetahuan, dan pengalamannya. Kekuatan-kekuatan internal yang berpengaruh pada seorang pemimpin adalah sistem nilai yang dianut (keyakinan sejauh mana seorang pengikut dapat terlibat dalam pengambilan keputusan), kepercayaan kepada bawahan, kecenderungan kepemimpinan, dan rasa aman.
Pemimpin juga harus memperhitungkan sejumlah kekuatan yang mempengaruhi perilaku pengikutnya, termasuk ekspektasi mereka terhadap para pemimpin. Namun umumnya pemimpin bersedia memberikan lebih banyak kebebasan bila pengikut memiliki kebutuhan akan kemandirian yang lebih tinggi, siap memikul tanggung jawab lebih dalam mengambil keputusan, tertarik kepada masalah yang dihadapi, memahami dan merasa identik dengan tujuan organisasi, memiliki pengetahuan dan pengalaman yang diperlukan dalam menghadapi sebuah masalah, dan memiliki ekspektasi untuk berbagi dalam pengambilan keputusan.
Faktor situasi juga menentukan. Faktor ini mencakup tekanan lingkungan yang berasal dari organisasi, kelompok kerja, sifat masalah, dan waktu. Faktor organisasi diantaranya mencakup nilai-nilai, ukuran unit kerja, distribusi geografis, dan persyaratan keamanan yang diperlukan guna mencapai tujuan. Faktor yang berasal dari kelompok kerja mencakup pengalaman dalam bekerja bersama, latar belakang anggota organisasi, kepercayaan diri dalam memecahkan masalah, kekohesifan, kebebasan, penerimaan timbal balik, dan kesamaan tujuan. Sifat masalah dapat menjadi penentu tingkat otoritas yang didelegasikan pemimpin. Mengingat semakin banyak masalah yang penyelesaiannya mensyaratkan pengetahuan dan keterampilan yang spesifik, semakin penting seorang pemimpin memberikan keleluasaan lebih besar kepada para pengikutnya. Dalam hal waktu, semakin sedikit waktu yang tersedia, biasanya keterlibatan orang lain dalam pengambilan keputusan semakin sedikit.
Sebagai tambahan, faktor lain yang berpengaruh terhadap pola kepemimpinan adalah faktor perubahan lingkungan eksternal seperti kompetisi yang semakin ketat dan sengit, perkembangan teknologi yang semakin cepat, perubahan perilaku pelanggan, dan terbukanya aneka peluang bisnis baru. Dari sisi internal organisasi, saat ini karyawan semakin kritis. Tuntutan mereka pun semakin tinggi. Situasi ini tentu menyebabkan perusahaan tidak dapat lagi mengandalkan pola kepemimpinan dimana pemimpin mendominasi pengambilan keputusan tanpa disertai partisipasi dan pendelegasian wewenang yang memadai.

C.  Menjelaskan teori kepemimpinan dari konsep modern choice approach participation yang memuat desicion tree for leadership dari vroom & yetten
Konsep Decision Tree of Leadership dari Vroom & Yetton
Salah satu tugas utama dari seorang pemimpin adalah membuat keputusan. Karena keputusan-keputusan yg dilakukan para pemimpin sering kali sangat berdampak kepada para bawahan mereka, maka jelas bahwa komponen utama dari efektifitas pemimpin adalah kemampuan mengambil keputusan yang sangat menentukan keberhasilan melaksanakan tugas-tugas pentingnya. Pemimpin yang mampu membuat keputusan dengan baik akan lebih efektif dalam jangka panjang dibanding dengan mereka yang tidak mampu membuat keputusan dengan baik. Sebagaimana telah kita pahami bahwa partisipasi bawahan dalam pengambilan keputusan dapat meningkatkan kepuasan kerja, mengurangi stress, dan meningkatkan produktivitas.
5 tipe kunci metode kepemimpinan yang teridentifikasi (Vroom & Yetton, 1973):
a.      AI (Autocratic) Pemimpin memecahkan masalah atau membuat keputusan secara unilateral, menggunakan informasi yang ada.
b.      AII (Autocratic) Pemimpin memperoleh informasi yang dibutuhkan dari bawahan namun setelah membuat keputusan unilateral.
c.       CI (Consultative) Pemimpin membagi permasalahan dengan bawahannya secara perorangan, namun setelah itu membuat keputusan secara unilateral.
d.      CII (Consultative) Pemimpin membagi permasalahan dengan bawahannya secara berkelompok dalam rapat, namun setelah itu membuat keputusan secara unilateral.
e.       GII (Group Decision) Pemimpin membagi permasalahan dengan bawahannya secara berkelompok dalam rapat; Keputusan diperoleh melalui diskusi terhadap konsensus.
Dalam memilih alternatif-alternatif pengambilan keputusan tersebut para pemimpin perlu terlebih dahulu membuat pertanyaan kepada diri sendiri, seperti: apakah kualitas pengambilan keputusan yang tinggi diperlukan, apakah saya memiliki informasi yang cukup untuk membuat keputusan yang berkualitas tersebut, apakah permasalahannya telah terstruktur dengan baik. Dalam kaitannya dengan penerimaan keputusan, pemimpin harus bertanya, apakah sangat penting untuk efektifitas implementasi para bawahan menerima keputusan, apakah para bawahan menerima tujuan organisasi yang akan dicapai melalui pemecahan masalah ini.
D.  Teori kepemimpinan dari konsep Contingency Theory of Leaderhip dari Fiedler
Teori kontingensi menganggap bahwa kepemimpinan adalah suatu proses di mana kemampuan seorang pemimpin untuk melakukan pengaruhnya tergantung dengan situasi tugas kelompok (group task situation) dan tingkat- tingkat daripada gaya kepemimpinannya, kepribadiannya dan pendekatannya yang sesuai dengan kelompoknya. Dengan perkataan lain, menurut Fiedler, seorang menjadi pemimpin bukan karena sifat-sifat daripada kepribadiannya, tetapi karena berbagai faktor situasi dan adanya interaksi antara Pemimpin dan situasinya.
Teori kontingensi melihat pada aspek situasi dari kepemimpinan (organization context). Fiedler mengatakan bahwa ada 2 tipe variabel kepemimpinan: Leader Orientation dan Situation Favorability. Leader Orientation merupakan pilihan yang dilakukan pemimipin pada suatu organisasi berorinetasi pada relationship atau beorientasi pada task. Leader Orientationdiketahui dari Skala semantic differential dari rekan yang paling tidak disenangi dalam organisasi (Least preffered coworker = LPC) . LPC tinggi jika pemimpin tidak menyenangi rekan kerja, sedangkan LPC yang rendah menunjukkan pemimpin yang siap menerima rekan kerja untuk bekerja sama. Skor LPC yang tinggi menujukkan bahwa pemimpin berorientasi pada relationship, sebaliknya skor LPC yang rendah menunjukkan bahwa pemimpin beroeintasi pada tugas. Fiedler memprediksi bahwa para pemimpin dengan Low LPC yakni mereka yang mengutamakan orientasi pada tugas, akan lebih efektif dibanding para pemimpin yang High LPC, yakni mereka yang mengutamakan orientasi kepada orang atau hubungan baik dengan orang apabila kontrol situasinya sangat rendah ataupun sangat tinggi. Sebaliknya para pemimpin dengan High LPC akan lebih efektif dibanding pemimpin dengan Low LPC apabila kontrol situasinya moderat. Hubungan antara LPC pemimpin dan efektivitas tergantung pada sebuah variabel situasional yang rumit disebut “keuntungan situasional” atau “situational favorability” atau “kendali situasi”. Fiedler mendefinisikan kesukaan sebagai batasan dimana situasi memberikan kendali kepada seorang pemimpin atas para bawahan. Situation favorability adalahtolak ukur sejauh mana pemimpin tersebut dapat mengendailikan suatu situasi, yang ditentukan oleh 3 variabel situasi.
Tiga aspek situasi yang dipertimbangkan meliputi :
1. Hubungan pemimpin-anggota: Adalah batasan dimana pemimpin memiliki dukungan dan kesetiaan dari para bawahan, pemimpin mempengaruhi kelompok dan kondisi di mana ia dapat melakukan begitu. Seorang pemimpin yang diterima oleh anggota kelompok adalah dalam situasi yang lebih menguntungkan daripada orang yang tidak.
2. Kekuasaan Posisi : Batasan dimana pemimpin memiliki kewenangan untuk mengevaluasi kinerja bawahan dan memberikan penghargaan serta hukuman.
3.  Struktur Tugas: Batasan dimana terdapat standar prosedur operasi untuk menyelesaikan tugas, sebuah gambaran rinci dari produk atau jasa yang telah jadi, dan indicator objektif mengenai seberapa baiknya tugas itu dilaksanakan.


E.  Teori kepemimpinan dari konsep path goal theory  
Teori path-goal adalah suatu model kontijensi kepemimpinan yang dikembangkan oleh Robert House, yang menyaring elemen-elemen dari penelitian Ohio State tentang kepemimpinan pada inisiating structure dan consideration serta teori pengharapan motivasi. Dasar dari teori ini adalah bahwa merupakan tugas pemimpin untuk membantu anggotanya dalam mencapai tujuan mereka dan untuk memberi arah dan dukungan atau keduanya yang dibutuhkan untuk menjamin tujuan mereka sesuai dengan tujuan kelompok atau organisasi secara keseluruhan. Istilah path-goal ini datang dari keyakinan bahwa pemimpin yang efektif memperjelas jalur untuk membantu anggotanya dari awal sampai ke pencapaian tujuan mereka, dan menciptakan penelusuran disepanjang jalur yang lebih mudah dengan mengurangi hambatan dan pitfalls (Robbins, 2002).
Menurut teori path-goal, suatu perilaku pemimpin dapat diterima oleh bawahan pada tingkatan yang ditinjau oleh mereka sebagai sebuah sumber kepuasan saat itu atau masa mendatang. Perilaku pemimpin akan memberikan motivasi sepanjang (1) membuat bawahan merasa butuh kepuasan dalam pencapaian kinerja yang efektif, dan (2) menyediakan ajaran, arahan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan dalam kinerja efektif (Robins, 2002). Untuk pengujian pernyataan ini, Robert House mengenali empat perilaku pemimpin. Pemimpin yang berkarakter directive-leader, supportive leader, participative leader dan achievement-oriented leader. Berlawanan dengan pandangan Fiedler tentang perilaku pemimpin, House berasumsi bahwa pemimpin itu bersifat fleksibel. Teori path-goal mengimplikasikan bahwa pemimpin yang sama mampu menjalankan beberapa atau keseluruhan perilaku yang bergantung pada situasi (Robins, 2002).
Model kepemimpinan path-goal berusaha meramalkan efektivitas kepemimpinan dalam berbagai situasi. Menurut model ini, pemimpin menjadi efektif karena pengaruh motivasi mereka yang positif, kemampuan untuk melaksanakan, dan kepuasan pengikutnya. Model path-goal menjelaskan bagaimana seorang pimpinan dapat memudahkan bawahan melaksanakan tugas dengan menunjukkan bagaimana prestasi mereka dapat digunakan sebagai alat mencapai hasil yang mereka inginkan. Teori Pengharapan (Expectancy Theory) menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku individu dipengaruhi oleh hubungan antara usaha dan prestasi (path-goal) dengan valensi dari hasil (goal attractiveness). Individu akan memperoleh kepuasan dan produktif ketika melihat adanya hubungan kuat antara usaha dan prestasi yang mereka lakukan dengan hasil yang mereka capai dengan nilai tinggi. Model path-goal juga mengatakan bahwa pimpinan yang paling efektif adalah merekayang membantu bawahan mengikuti cara untuk mencapai hasil yang bernilai tinggi.
Oleh karenanya, Model path-goal menganjurkan bahwa kepemimpinan terdiri dari dua fungsi dasar:
1.Fungsi Pertama adalah memberi kejelasan alur. Maksudnya, seorang pemimpin harus mampu membantu bawahannya dalam memahami bagaimana cara kerja yang diperlukan di dalam menyelesaikan tugasnya.
2.Fungsi Kedua adalah meningkatkan jumlah hasil (reward) bawahannya
dengan memberi dukungan dan perhatian terhadap kebutuhan pribadi mereka.
Untuk membentuk fungsi-fungsi tersebut, pemimpin dapat mengambil berbagai gaya kepemimpinan. Empat perbedaan gaya kepemimpinan dijelaskan dalam model path-goal sebagai berikut (Koontz et al dalam Kajanto, 2003)
1.Kepemimpinan pengarah (directive leadership) Pemimpinan memberitahukan kepada bawahan apa yang diharapkan dari mereka, memberitahukan jadwal kerja yang harus disesuaikan dan standar kerja, serta memberikan bimbingan/arahan secara spesifik tentang cara-cara menyelesaikan tugas tersebut, termasuk di dalamnya aspek perencanaan, organisasi, koordinasi dan pengawasan.
2. Kepemimpinan pendukung (supportive leadership) Pemimpin bersifat ramah dan menunjukkan kepedulian akan kebutuhan bawahan. Ia juga memperlakukan semua bawahan sama dan menunjukkan tentang keberadaan mereka, status, dan kebutuhan-kebutuhan pribadi, sebagai usaha untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang menyenangkan di antara anggota kelompok. Kepemimpinan pendukung (supportive) memberikan pengaruh yang besar terhadap kinerja bawahan pada saat mereka sedang mengalami frustasi dan kekecewaan.
3.Kepemimpinan partisipatif (participative leadership) Pemimpin partisipatif berkonsultasi dengan bawahan dan menggunakan saran-saran dan ide mereka sebelum mengambil suatu keputusan. Kepemimpinan partisipatifdapat meningkatkan motivasi kerja bawahan.
4. Kepemimpinan berorientasi prestasi (achievement-oriented leadership) Gaya kepemimpinan dimana pemimpin menetapkan tujuan yang menantang dan mengharapkan bawahan untuk berprestasi semaksimal mungkin serta terus menerus mencari pengembangan prestasi dalam proses pencapaian tujuan tersebut. Dengan menggunakan salah satu dari empat gaya di atas dan dengan memperhitungkan faktor-faktor seperti yang diuraikan tersebut, seorang pemimpin harus berusaha untuk mempengaruhi persepsi para karyawan atau bawahannya dan mampu memberikan motivasi kepada mereka, dengan cara mengarahkan mereka pada kejelasan tugas-tugasnya, pencapaian tujuan, kepuasan kerja dan pelaksanaan kerja yang efektif.Terdapat dua faktor situasional yang diidentifikasikan kedalam model teori path-goal, yaitu: personal characteristic of subordinate and environmental pressures and demmand (Gibson, 2003).
1.Karakteristik Bawahan pada faktor situasional ini, teori path-goal memberikan penilaian bahwa perilaku pemimpin akan bisa diterima oleh bawahan jika para bawahan melihat perilaku tersebut akan merupakan sumber yang segera bisa memberikan kepuasan atau sebagai suatu instrumen bagi kepuasan-kepuasan masa depan. Karakteristik bawahan mencakup tiga hal, yakni:
a. Letak Kendali (Locus of Control) Hal ini berkaitan dengan keyakinan individu sehubungan dengan penentuan hasil. Individu yang mempunyai letak kendali internal meyakini bahwa hasil (reward) yang mereka peroleh didasarkan pada usaha yang mereka lakukan sendiri. Sedangkan mereka yang cenderung letak kendali eksternal meyakini bahwa hasil yang mereka peroleh dikendalikan oleh kekuatan di luar kontrol pribadi mereka. Orang yang internal cenderung lebih menyukai gaya kepemimpinan yang participative, sedangkan eksternal umumnya lebih menyenangi gaya kepemimpinan directive
b.Kesediaan untuk Menerima Pengaruh (Authoritarianism) Kesediaan orang untuk menerima pengaruh dari orang lain. Bawahan yang tingkat authoritarianism yang tinggi cenderung merespon gaya kepemimpinan yang directive, sedangkan bawahan yang tingkat authoritarianism rendah cenderung memilih gaya kepemimpinan partisipatif.
c. Kemampuan (Abilities) Kemampuan dan pengalaman bawahan akan mempengaruhi apakah mereka dapat bekerja lebih berhasil dengan pemimpin yang berorientasi prestasi (achievement-oriented) yang telah menentukan tantangan sasaran yang harus dicapai dan mengharapkan prestasi yang tinggi, atau pemimpin yang supportive yang lebih suka memberi dorongan dan mengarahkan mereka. Bawahan yang mempunyai kemampuan yang tinggi cenderung memilih gaya kepemimpinan achievement oriented, sedangkan bawahan yang mempunyai kemampuan rendah cenderung memilih pemimpin yang supportive.
2.  Karakteristik Lingkungan pada faktor situasional ini path-goalmenyatakan bahwa perilaku pemimpin akan menjadi faktor motivasi terhadap para bawahan, jika:
1)Perilaku tersebut akan memuaskan kebutuhan bawahan sehingga akan memungkinkan tercapainya efektivitas dalam pelaksanaan kerja.
2)Perilaku tersebut merupakan komplimen dari lingkungan para bawahan yang dapat berupa pemberian latihan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan untuk mengidentifikasikan pelaksanaan kerja. Karakteristik lingkungan terdiri dari tiga hal, yaitu:
1) Struktur Tugas struktur kerja yang tinggi akan mengurangi kebutuhan kepemimpinan yang direktif.
2) Wewenang Formal kepemimpinan yang direktif akan lebih berhasil dibandingkan dengan partisipasi bagi organisasi dengan strktur wewenang formal yang tinggi
3) Kelompok Kerja, dengan tingkat kerjasama yang tinggi kurang membutuhkan kepemimpinan supportif





SUMBER:


 
Robbins, P. Steven, Judge, A. Timothy. (2008). Perilaku organisasi . Jakarta : Salemba empat
Sarwono Wirawan Sarlito. (2005). Psikologi sosial: psikologi kelompok dan terapan. Jakarta : Balai Pustaka
Griffin, W. Ricky. (2003). Manajemen jilid 1. Jakarta : Erlangga




Tidak ada komentar:

Posting Komentar